Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

LKBHMI Cabang Ciputat Soroti Problematika KUHP Baru

Editor:

Tangerang Selatan – Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam (LKBHMI) Cabang Ciputat bekerja sama dengan Lawyer Keluarga menyelenggarakan webinar online melalui zoom, pada Rabu (28/12).

Webinar ini mengusung tema “Problematika KUHP Baru, dalam Diskursus HAM dan Hukum Keluarga” dengan mengundang tiga narasumber yaitu Asfinawati, S.H (Aktifis HAM dan Pengajar di STHI Jentera), Raden Ramanda, S.H (Advokat Lawyer Keluarga) dan Fahmi Muhammad Ahmadi (Sosiolog UIN Jakarta) yang dimoderatori oleh Raka Aprilia (Anggota LKBHMI Ciputat).

Pembicara pertama dibuka oleh Raden Ramanda, S.H. yang secara cermat menguraikan regulasi seputar hukum keluarga serta kaitannya dengan ketentuan Pidana. Selain itu, Raden juga turut menyampaikan beberapa poin perubahan dalam KUHP baru yang bersinggungan dengan keluarga.

Pembicara kedua yaitu Asfinawati, S.H. Asfinawati menjelaskan bahwa secara filosofis, selain Reformasi Hukum Pidana, tujuan pembetukan KUHP baru juga bertujuan untuk dekolonialisasi terhadap KUHP Belanda.

“Dekolonialiasasi adalah melakukan penggantian sistem tatanan sosial lama yang menindas”. Perubahan itu diharapkan dapat merubah tak hanya tampilan namun juga watak kolonial KUHP lama dengan sifat otoriter nya menjadi KUHP yang lebih Egaliter. Sayangnya, tujuan filosofis itu akhirnya dicoreng sendiri oleh pemerintah tatkala pasal penghinaan presiden dan lembaga negara dengan segala ambiguitasnya kembali di masukkan.

Ketua YLBHI Muhamad Isnur yang hadir dalam Webinar itu juga turut menanggapi. Melanjutkan dari yang telah disampaikan oleh Asfinawati, Menurut Isnur, Hukum sejatinya memainkan fungsi Social Engineering, yaitu sebagai alat untuk merubah tatanan sosial kearah yang lebih baik.

Jika beberapa pasal dalam KUHP lama memiliki corak kolonial seperti pasal penghinaan presiden, maka KUHP baru harus membuang pasal itu jauh-jauh. Dan lagi pula MK telah dari jauh-jauh hari melarang ketentuan penghinaan presiden dan lembaga negara itu kembali dimasukkan dalam KUHP baru. Sebagaimana yang disampaikan Asfinawati, dalam membaca regulasi, kita tidak boleh terjebak pada satu disiplin tertentu namun harus secara komprehensif melakukan pembacaan, demi menghasilkan kesimpulan yang tepat.

Kemudian pembicara terakhir Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. Beliau memulai dengan persoalan Marital Rape atau pemerkosaan dalam rumah tangga. Ketentuan tersebut yang kemudian diakomodir oleh KUHP baru tentu menuai berbagai macam penolakan. Pak Fahmi melihat bahwa, mereka yang menolak ketentuan pasal ini umumnya memiliki paradigma bahwa perempuan adalah komoditi. Beliau juga melanjutkan kemudian bahwa “di Indonesia, pelanggaran terhadap Hukum Perkawinan masih dikategorikan sebagai pelanggaran perdata, padahal dibeberapa negara seperti Malaysia, pelanggaran terhadap hukum perkawinan tak hanya pelanggaran administratif namun bagian dari pelanggaran pidana.

Menanggapi apa yang disampaikan oleh Pak Fahmi, Rahmat Ramdhani dari Lawyer Keluarga menjelaskan bahwa pada tataran praktis, ketentuan pasal semisal Kohabitasi akan berkemungkinan besar untuk disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan mereka. Misalnya ketika suami dan isteri bersiasat untuk menjerat turis asing dan sebagainya.

Dari Diskusi ini kita dapat melihat bahwa dalam konteks keluarga, beberapa ketentuan pasal baru KUHP dinilai sudah progresif sementara sisanya lagi perlu untuk kembali didistribusikan guna menyelesaikan ambiguitasnya. Ini penting karena jika masyarakat adalah inti dari Demokrasi maka Keluarga adalah ini dari masyarakat. Hal ini mensyaratkan bahwa pengaturan regulasi apapun yang berkaitan dengan keluarga, haruslah didiskusikan dengan matang.

Kabarbaru TV

Kabarbaru Network

Realtime.co.id | 2024

Menyajikan berita Indonesia yang membangun, menginspirasi, dan berpositif thinking berdasarkan jurnalisme positif.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store